Sabtu, 14 Januari 2012

Manusia sebagai Makhluk Individu dan Sosial

Manusia Sebagai Makhluk Individu, Sosial, dan Budaya.

  1. Manusia Sebagai Makhluk Individu
Dalam pembahasan manusia sebagai makhluk individu, disini kami membaginya menjadi dua.
A. Hakikat Manusia Sebagai Makhluk Individu
Individu berasal dari kata in dan devided. Dalam Bahasa Inggris in salah satunya mengandung pengertian tidak, sedangkan devided artinya terbagi. Menurut pendapat Dr. A. Lysen individu berasal dari bahasa latin individum, yang artinya tak terbagi. Kata individu merupakan sebutan yang dipakai untuk meyatakan satu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Kata individu bukan berarti manusia secara keseleruhan yang tak dapat dibagi, melainkan sebagai kesatuan terbatas, yaitu perseorangan manusia.[1] Individu menekankan penyelidikan kepada kenyataan-kenyataan hidup yang istimewa, dan seberapa mempengaruhi kehidupan manusia.[2] Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dibagi, melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan sehingga sering disebut “ orang seorang” atau “manusia perseorangan”. Individu dalam hal ini adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan-peranan yang khas di dalam lingkungan sosialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian serta pola tingkahlaku spesifik tentang dirinya. Akan tetapi dalam banyak hal banyak pula persamaan disamping hal-hal yang spesifik tentang dirinya dengan orang lain.[3] Disini jelas bahwa individu adalah seorang manusia yang tidak hanya memiliki peranan khas didalam lingkungan sosaialnya, melainkan juga mempunyai kepribadian, serta pola tingkah laku spesifik dirinya. Persepsi terhadap individu atau hasil pengamatan manusia dengan segala maknanya merupakan suatu keutuhan ciptaan Tuhan yang mempunyai tiga aspek yang melekat pada dirinya, yaitu aspek organik jasmaniah, aspek psikis rohaniah, dan aspek sosial. Apabila terjadi kegoncangan pada salah satu aspek, maka akan membawa akibat pada aspek yang lainnya.
Masih terkait dengan persoalan antara individu satu dengan individu lainnya, maka manusia menjadi lebih bermakna apabila pola tingkah lakunya hampir identik dengan tingkah laku massa yang bersngkutan. Proses yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai pada dirinya sendiri disebut proses individualisasi atau aktualisasi diri. Dalam proses ini, individu dibebani berbagai peranan yang berasal dari kondisi kebersamaan hidup, yang akhirnya muncul suatu kelompok yang akan menentukan kemampuan satu masyarakat. Individu dalam tingkahlaku menurut pola pribadinya memiliki tiga kemungkinan:[4]
  1. Menyimpang dari norma kolektif kehilangan individualitasnya.
  2. Takluk terhadap kolektif.
  3. Ketiga mempengaruhi masyarakat.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur jasmani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya.
Menurut Nursid Sumaatmadja (2000), kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psiko-fiskal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia menyimpulkan bahwa faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang.[5]
Manusia dikatakan menjadi individu apabila pola tingkah lakunya sudah bersifat spesifik didalam dirinya dan bukan lagi menuruti pola tingkahlaku umum.
Didalam sebuah massa manusia cenderung menyingkirkan individu alitasnya karena tingkah lakunya adalah hampir identik dengan tingkahlaku massa yang bersangkutan. Dalam hubungan ini dapat dicirikan, apabila manusia dalam tindakan-tindakannya menjurus kepada kepentingan pribadi maka disebut manusia sebagai makhluk individu, sebaliknya apabila tindakan-tindakannya merupakan hubungan dengan manusia lainnya, maka manusia itu dikatakan makhluk sosial. Pengalaman menunjukkan bahwa jika seseorang pengabdiannya kepada diri sendiri besar, maka pengabdiannya kepada masyarakat kecil. Sebaliknya jika seseorang pengabdiannya kepada diri sendiri kecil, maka pengabdiannya kepada masyarakat besar. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa proses yang dikatakan bahwa yang meningkatkan ciri-ciri individualitas pada seseorang sampai ia adalah dirinya sendiri, disebut sebagai proses individualitas, atau kadang-kadang juga diberi nama proses aktualisasi diri.[6]
B. Perkembangan Individu
Manusia sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk ciptaan Tuhan terdiri atas unsur jasmani dan rohani. Dalam rangka perkembangan individu, diperlukan suatu keterpaduan antara pertumbuhan jasmani dan rohani.
Individu tidak mampu berdiri sendiri, melainkan hidup dalam hubungan antara sesama inidividu. Dengan demikian, dalam hidup dan kehidupannya,  manusia selalu mengadakan kontak dengan manusia lain. Karena itu manusia sebagai individu juga merupakan makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat.  Sejak lahir sampai pada akhir hayatnya, manusia hidup ditengah-tengah kelompok sosial atau kesatuan sosial juga dalam situasi sosial yang merupakan bagian dari ruang lingkup suatu kelompok sosial. Kelompok sosial yang merupakan awal kehidupan manusia individu adalah keluarga. Dalam keluarga ada rasa saling tergantung diantara sesama manusia yang membentuk individu berkembang untuk beradaptasi dengan kehidupan dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa manusia sebagai individu tidak mampu hidup sendiri, tetapi diperlukan keberadaan dalam suatu kelompok (masyarakat) sehingga individu merupakan makhluk sosial.[7] Ini berarti antara individu dan kelompok terdapat hubungan timbal balik dan hubungan yang sangat erat yang merupakan hubungan fungdional.
Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Dari sekian banyak manusia, ternyata masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Seorang individu adalah perpaduan antara faktor fenotipe dan genotipe. Faktor genotipe adalah faktor yang dibawa individu sejak lahir, ia merupakan faktor keturunan, dibawa individu sejak lahir. Kalau seseorang individu memiliki ciri fisik atau karakter sifat yang dibawa sejak lahir, ia juga memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (faktor fenotipe). Faktor lingkungan (fenotipe) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang. Istilah lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Ligkungan fisik seperti kondisi alam sekitarnya. Lingkungan sosial, merujuk pada lingkungan di mana seorang individu melakukan interaksi sosial. Kita melakukan interaksi sosial dengan anggota keluarga, dengan teman, dan kelompok sosial yang lebih besar. Karakteristik yang khas dari seseorang dapat kita sebut dengan kepribadian. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor bawaan genotipe, dan faktor lingkungan (fenotipe) yang saling berinteraksi terus-menerus.[8]
Pertumbuhan dan perkembangan individu menjadi pribadi yang khas tidak terjadi dalam waktu sekejap, melainkan terentang sebagai kesinambungan perkembangan sejak masa janin, bayi, anak , remaja, dewasa sampai tua. Istilah pertumbuhan lebih tertuju pada segi fisik atau biologis individu, sedangkan perkembangan tertuju pada segi mental psikologis individu.
Pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi beberapa faktor. Mengenai hal tersebut ada tiga pandangan, yaitu:[9]
  1. Pandangan nativistik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata ditentukan atas dasar fakor dari dalam individu sendiri, seperti bakat dan potensi, termasuk pula hubungan atau kemiripan dengan orang tuanya. Misalnya, jika ayahnya seniman maka sang anak akan menjadi seniman pula.
  2. Pandangan empiristik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata didasarkan atas faktor lingkungan. Lingkuganlah yang akan menentukan pertumbuhan seseorang. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan nativistik.
  3. Pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu dipengaruhi oleh faktor diri individu dan lingkungan. Bakat anak merupakan potensi yang harus disesuaikan dengan diciptakannya lingkungan yang baik sehingga ia bisa tumbuh secara optimal. Pandangan ini berupaya menggabungkan kedua pandangan sebelumnya.
Pada dasarnya, kegiatan atau aktivitas seseorang ditujukan untuk memenuhi kepentingan diri dan kebutuhan diri. Sebagai makhluk dengan kesatuan jiwa dan raga, maka aktivitas individu adalah untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan jiwa, rohani, atau psikologis, serta kebutuhan jasmani atau biologis. Pemenuhan kebutuhan tersebut adalah dalam rangka menjalani kebutuhannya.
Pandangan yang mengembangkan pemikiran bahwa manusia pada dasarnya adalah individu yang bebas dan merdeka adalah paham individualisme. Paham individualisme menekankan kesususan, martabat, hak, dan kebebasan orang perorang. Manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka tidak terikat apapun dengan masyarakat ataupun negara. Manusia bisa berkembang dan sejahtera hidupnya serta berlanjut apabila dapat bekerja secara bebas dan berbuat apa saja untuk memperbaiki dirinya sendiri.
  1. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
  1. Pengertian manusia Sebagai Makhluk Sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang senantiasa hidup dengan manusia lain (masyarakatnya). Ia tidak dapat merealisasikan potensi hanya dengan dirinya sendiri. Manusia akan membutuhkan manusia lain untuk hal tersbut, termasuk dalam mencukupi kebutuhannya.[10]
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.[11]
Ketika manusia sebagai makhluk individu ternyata tidak mampu hidup sendiri. Pada usia bayi, ia sudah menjalin hubungan terutama dengan ayah dan ibu, dalam bentuk gerakan, senyuman, dan kata-kata. Pada usia 4 tahun, ia mulai berhubungan dengan teman- teman sebaya dan melakukan kontak sosial. Pada usia-usia selanjutnya, ia terikat dengan norma-norma pergaulan dengan lingkungan yang semakan luas. manusia hidup dalam lingkungan sosialnya. Ia dalam menjalani kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lainnya. Hal ini disebabkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri. Ia akan bergabung dengan manusia lain membentuk kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal ini, manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama dengan individu lainnya.
Berdasarkan proses diatas, manusia lahir dengan keterbatasan, dan secara naluriah manusia membutuhkan hidup dengan manusia lainnya. Manusia sejak lahir dipeliharadan dibesarkan dalam sesuatu masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Keluarga terbentuk karena adanya pergaulan antar anggota sehingga dapat dikatakan bahwa berkeluarga merupakakn kebutuhan manusia. Esensinya, manusia memerlukan orang lain atau hidup hidup dalam kelompoknya.[12]
Cooley berpendapat, ia memberi nama looking-glass self untuk melihat bahwa seseorang dipengaruhi oleh orang lain. Nama demikian diberikan olehnya karena melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau cermin memantau apa yang ada didepannya, maka menurut Cooley diri seseorang memantau apa yang di rasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.[13]
Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap:
  1. Tahap pertama, seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya.
  2. Tahap kedua, sesorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya.
  3. Tahap ketiga, seseoerang mempunyai perasaan terhadapa aap yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadap itu.
Untuk memahami pendapat Cooley disini dapat disajikan suatu contoh. Seorang siswa yang cenderung memperoleh nilai-nilai rendah (misalnya, 4 atau 5) dalam ujian-ujian semesternya. Misalnya para guru yang ada di sekolah menganggapnya bodoh. Ia merasa pula bahwa karena ia dinlai bodoh maka ia kurang dihargai guru-gurunya. Karena kurang dihargai siswa, siswa tersebut menjadi murung. Jadi disini perasaan diri sendiri seseorang merupakan pencerminan dari penilaian orang lain (looking-glass self). Dalam kasus tersebut diatas, pelecehan oleh guru ini ada dalam benak si siswa dan memengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri, terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para guru memang berperasaan demikian terhadapnya.
Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena sifatnya yang ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Sebagai idividu, manusia tidak dapat mencapaisegala sesuatu yang diinginkan dengan mudah tanpa bantuan orang lain.
Paham yang mengembangkan pentingnya aspek kehidupan sosial kehidupan manusia adalah sosialisme. Sosialisme memberikan nilai lebih pada manusia sebagai sebagai makhluk sosial. Sosialisme merupakan reaksi atas sistem liberalisme yang dilahirkan oleh paham individualisme.[14]
Salah sau peranan dikaitkan dengan sosialisasi oleh teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Socienty (1972), Mead menguraikan tahap-tahap pengembangan secara bertahap melalui beberapa tahap-tahap Play Stage, tahap Game Stage, dan tahap Generalized Other.
Menurut mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi adalah suatu proses dimana didalamnya terjadi pengambilan peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Menurut Mead tahap-tahapan itu adalah:[15]
1.      Play Stage, seseorang anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang-orangg yang ada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang dijalankan oleh orang tuanya atau peranan orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi.
2.      Game Stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankannya oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
3.      Generalized Other, pada tahap awal sosialisasi, interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain biasanya snggota keluarga, terutama ayah dan ibu. Oleh Mead orang-orang yang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant other. Pada tahap ketiga sosialisasi seseorang dianggap telah mampu mengamil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat mampu mengambil peranan Generalized Other. Ia telah mampu brinterksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena beberapa alasan sebagai berikut:[16]
a.       Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.
b.      Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain.
c.       Mansuia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
d.      Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
  1. Peranan Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Manusia sebagai pribadi adalah berhakikat sosial. Artinya, manusia akan senantiasa dan selalu berhubungan dengan orang lain. Manusia tidak mungkin hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Fakta ini memberikan kesadaran akan “ketidakberdayaan” manusia dalam memenuhi kebutuhannya sendiri.
Kebutuhan akan orang lain dan interaksi sosial membentuk kehisupan berkelompok pada manusia. Berbagai kelompok sosial tumbuh seiring dengan kebutuhan manusia untuk saling berinteraksi.
Dalam berbagai kelompok sosial ini, manusia membutuhkan norma-norma pengaturannya. Terdapat norrma-norma sosial sebagai patokan untukbertingkah laku bagi manusia di kelompoknya. Norma-norma tersebut ialah:
a.       Norma agama atau religi, yaitu norma yang bersumber dari Tuhan yang diperuntukkan bagi umat-Nya. Norma agama berisi perintah agar dipatuhi dan larangan agar dijauhi umat beragama. Norma agama ada dalam ajaran-ajaran agama.
b.      Norma kesusilaan atau moral, yaitu norma yang bersumber dari hati nurani manusia untuk mengajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan. Norma moral bertujuan agar manusia berbuat baik secara moral. Orang berkelakuan baik adalah orang yang bermoral, sedangkan orang yang berkelakuan buruk adalah orang tidak bermoral atau amoral.
c.       Norma kesopanan atau adat adalah norma yang bersumber dari masyarakat dan berlaku terbatas pada lingkungan masyarakat yang bersangkutan. Norma ini di maksudkan untuk menciptakan keharmonisan hubungan antarsesama.
d.      Norma hukum, yaitu norma yang dibuat masyarakat secara remi (negara) yang pemberlakuannya dapat dipaksakan. Norma hukum yang brsifat tertulis.
Selain itu, norma dapat dibedakan pula menjadi empat macam berdasarkan kekuatan berlakunya dimasyarakat. Ada norma yang daya ikatnya sangat kuat, sedang, dan ada pula norma yang daya ikatnya  sangat lemah. Keempat jenis tersebut adalah cara (usage), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), dan adat istiadat (costum).
a.       Cara (usage)
Cara adalah bentuk kegiatan manusia yang daya ikatnya sangat lemah. Norma ini lebih menonjol dalam hubungn antarindividu atau perorangan. Pelanggaran terhadap norma ini tidak mengakibatkan hukuman yang berat, tetapi sekedar celaan. Contohnya cara makan, ada yang makan sambil berdiri dan ada yang makan sambil duduk. Cara makan sambil duduk dianggap lebih panas dibandingkan cara makan sambil bediri.
b.      Kebiasaan (falkways)
Kebiasaan adalah kegiatan atau perbuatan yang di ulang-ulang dalam bentuk yang sama oleh orang banyak kerana disukai. Norma ini lebih kuat daya ikatnya dari pada norma cara. Contohnya, kebiasaan salam bila bertemu.
c.       Tata kelakuan (mores)
Tata kelakuan adalah kebiasaan yang di anggap sebagai norma pengatur. Sifat norma ini disatu sisi sebagai pemaksa suatu perbuatan dan disisi lain sebagai suatu larangan. Dengan demikian, tata kelakuan dapat menjadi acuan agar masyarakat menyusuaikan diri dengan kelakuan yang ada serta meninggalkan perbuatan yang tidak sesui dengan tata kelakuan.
d.      Adat istiadat (custum)
Adat istiadat adalah kelakuan yang telah menyatu kuat dalam pola-pola perilaku sebuah masyarakat. Oleh karena itu pada umumnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar